LAWATAN Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz Al Saud ke negara-negara di Asia disebut oleh salah satu media internasional, The New York Times, sebagai sebuah perjalanan diplomasi yang penuh gemerlap kemewahan.
Ungkapan gemerlap rasanya tak terbantahkan. Betapa tidak, ketika datang ke Indonesia pada Rabu pekan lalu, Rombongan Sang Raja membawa serta 1.500 delegasi yang di antaranya adalah 25 pangeran dan dan 10 orang menteri serta 100 petugas keamanan yang datang dengan enam pesawat jet supermewah.
Dari keenam pesawat itu, terdapat satu Hercules C-130 untuk mengangkut 506 ton kargo, dua mobil Mercedes-Benz S600, dan dua elevator elektrik. Diberitakan, perlu 572 pekerja hanya untuk mengurusi koper dari delegasi yang berjumlah 1.500 orang.
Para ahli menyebut unjuk kemewahan itu bertujuan untuk menujukkan kekuasaannya, meskipun di tengah krisis negara. Peter Salisbury, peneliti dari Chatham House di London, menyebut kedatang Raja Salman beserta rombongan yang kemudian menggemparkan itu merupakan pembentukan simbol kekuasan yang sukses.
Dan benar saja, hal itu dengan mudah ditangkap oleh segenap publik di Indonesia, yang kemudian menjadikannya sebagai figur paling prestisius yang pernah menginjakan kaki di Indonesia.
Maka tak heran, jika dengan optimis Indonesia telah menargetkan dengan investasi Arab Saudi dengan jumlah yang fantastis pada lawatan kali ini. Sekretaris Kabinet Pramono Anung juga sempat mengatakan jika Presiden Jokowi menargetkan nilai investasi yang masuk setelah kunjungan Raja Salman mencapai US$25 miliar.
Sayangnya target itu terlampau tinggi dari angka investasi yang telah diteken Raja Salman untuk Indonesia dalam proyek refinery development master plan program (RDMP) Cilacap, antara Pertamina dan Saudi Aramco. Total investasi Arab Saudi yakni US$6 miliar saja, lebih sedikit dibanding Malaysia yang mendapat investasi US$7 miliar.
Tak cuma penuh kemewahan, kedatang Raja Salman ke Indonesia, sebagai negara kedua yang didatangi setelah Malaysia dalam lawatannya ke Asia, juga disambut gegap gempita oleh seluruh lapisan masyarakat di negri ini. Hal itu berbeda dengan respon yang ditunjukan publik Malaysia.
Di Jakarta, akses untuk menemui sang Raja bahkan juga menjadi ajang pertarungan dari para partisan politik.
Belum hilang di ingatan kita, bagaimana media masa memberitakan Habib Riziq Shihab yang ternyata tidak mendapat tempat dalam penyambutan Raja Salman ketimbang Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama (Ahok) yang secara 'absah' bisa pamer bersalaman dengan sosok ini.
Meski demikian, halkata Salisbury. Gaya hidup mewah dan Royal membuat sejumlah aspek pariwisata dan bisnis ketiban Rejeki. Belum lagi, Raja Salman juga menghabiskan waktu liburan selama sepekan di Pulau Bali yang tentu bisa jadi ajang promosi pariwisata Indonesia pada dunia secara cuma-cuma.
Padahal, kemewahan yang dibawa Sang Raja beserta rombongan itu berbanding terbalik dengan upaya penghematan besar-besaran yang mesti ditanggung rakyatnya. Arab Saudi telah melakukan pemotongan tunjangan pegawai negeri, peralihan penggunaan kalender Hijriyah menjadi Masehi, hingga pemecatan 10 ribu imam cadangan demi penghematan negara akibat jatuhnya harga minyak selama dua tahun terakhir.
Tak cuma itu, masih ada nasib para korban jatuhnya crane yang hingga saat ini belum dapat kejelasan ganti ruginya setelah dua tahun berselang.
Sang Raja seolah menyembunyikan kenyataan pahit negaranya, alih-alih mempertontonkan gemerlap kerajaan dan kekuasaan simboliknya ke seluruh dunia.
Baca Berita Selanjutnya
0 Response to "Di Balik Diplomasi Gemerlap Raja Salman"
Posting Komentar